Beranda | Artikel
Belajar Dari Apple Retail Store - Semuanya Mengenai Kepuasan Pelanggan!
Selasa, 1 April 2014

Oleh: Wim Permana, S.Kom*

Banyak orang bilang Apple Retail Stores (ARS) adalah konsep sekaligus contoh nyata ikon dunia ritel era baru. Desain eksteriornya luar biasa unik. Tampilan interiornya menawan. Lokasinya pun di titik strategis nan ramai. Lengkaplah atribut ARS sebagai pusat belanja khusus produk Apple. Bahkan jadi salah satu jujugan—tujuan utama—para pecinta iPod, iPad, iPhone dan Macbook di seluruh dunia membeli produk-produk Apple.

Sampai pertengahan April 2011, sekitar 1 miliar orang telah berkunjung ke ARS di seluruh dunia dan mengalirkan untung sampai US$ 3,6 miliar. Pada kuartal IV/2011, total keuntungan ARS sudah mencapai US$ 3,6 miliar.

Now, that’s what I called magical!

Bagaimana mungkin, bukankah awalnya banyak orang mencibir ide Apple? Apa yang membuat perusahaan di balik software Mac OS dan iOS ini sukses membangun bisnis retailnya? Berikut ini beberapa kiat Apple.

Kecewa itu Bagus, tapi Bahagia Lebih Bagus Lagi

Sebelum mengembangkan bisnis ritelnya, Apple hanyalah Apple—perusahaan teknologi yang sangat bagus membuat sistem operasi sekaligus perangkat keras yang memungkinkan banyak orang menjadi diri sendiri (penerbit, penulis, desainer, fotografer, dan sejenisnya). Sebelumnya Apple tidak menjual produknya secara langsung kepada para pelanggan dan pecintanya. Semua transaksi berlangsung melalui pihak ketiga (authorized dealers) seperti Sears, CompUSA, BestBuy dan Circuit City. Hasilnya memang lumayan. Keempat toko ritel tadi menjadi ujung tombak Apple untuk menyedot uang dari para pelanggan, khususnya di Amerika Serikat. Tapi Apple tidak puas. Ada sesuatu, dalam hubungan mesra antara Apple dan empat dealer tadi, yang menyinggung perasaan Apple.

Kepuasan Pelanggan adalah Segalanya

Selama bermitra dengan pihak ketiga, Apple sering menerima keluhan dari para pelanggan mengenai buruknya pelayanan yang mereka terima. Ada yang mengeluh karena kehilangan salah satu tombol keyboard Macbook baru miliknya. Ada juga yang menggerutu gara-gara para staf toko rekanan Apple tadi kurang pengetahuan mengenai produk Apple. Ada pula yang malas lalu batal membeli produk Apple gara-gara dealer-dealer tadi menyediakan pilihan produk yang terbatas.

Apakah cuma karena itu? Tidak. Masih ada lagi, kok. Usut punya usut, ternyata sebagian calon pembeli juga merasa kurang nyaman dengan sikap beberapa oknum di dealer resmi Apple karena mencoba mengalihkan perhatian mereka dari Apple ke merk-merk lain seperti Toshiba, HP atau IBM. Maklum, oknum-oknum tadi biasanya akan mendapatkan komisi tambahan yang cukup besar bila mampu menjual lebih banyak.

Toshiba, HP atau IBM tentu saja tidak bisa disalahkan. Apalagi para “staf kecil” yang bekerja di dealer rekanan Apple tadi. Walhasil, akhirnya (alm) Steve Jobs dan teman-temannya memutuskan membuat sendiri toko ritel versi mereka. Ritel dengan sentuhan Think Different a la Apple, tentunya.

Ron Johnson: Right Man on the Right Place

Pepatah bilang, kalau ingin berhasil, harus ada orang tepat di posisi yang tepat pula. Apple tahu benar cara mengimplementasikan wasiat bijak ini. Pada 2000, setahun sebelum Apple membuka toko ritel pertamanya, perusahaan yang bermarkas di Lembah Silikon ini merekrut orang dikenal ahli ritel. Ron Johnson namanya. Sebelumnya, Ron—peraih gelar MBA dari Harvard dan Stanford—berpengalaman menjalankan bisnis serupa di Target. Di perusahaan ini, karier Ron melejit sampai ke posisi vice president of retail stores.

Sekali lagi, mari kita lihat kecerdikan Apple merekrut staf. Pertama, Ron lulusan dua universitas sangat masyhur pada ilmu-ilmu bisnis. Kedua, dia mantan VP perusahaan ritel terbesar kedua di AS, setelah Walmart. Dengan dua kombinasi ini, (alm) Steve Jobs benar-benar membuktikan pernyataannya tentang bagaimana Apple merekrut orang: We hire people to tell us (Apple) what to do. Not to tell him what to do.

Filosofi ARS

Meskipun Ron Johnson mantan petinggi perusahaan ritel kelas mainstream yang cenderung berprinsip “jual murah asalkan laku keras”, namun ia tampaknya tidak gegabah menerapkan metode itu di perusahaan barunya. Ron melihat Apple bukanlah Target. Apple adalah perusahaan dengan barisan panjang konsumen loyal berselera seni dan keindahan yang tinggi.

Untuk itulah, alih-alih memfokuskan ARS hanya sebagai “warung baru” buat Apple, Ron justru berusaha keras untuk membuat ARS tampak seperti perpustakaan modern. Atau kafe dengan meja-meja belajar dan lampu yang benderang, dengan desain eksterior dan interior ruangan yang serba ramah lingkungan—material ARS umumnya terbuat dari batu, kayu, kaca dan stainless steel—plus pelayanan kelas wahid dari para staf terlatih didikan Apple sendiri.

Di ARS, pelanggan akan menikmati pengalaman berbelanja baru yang kecil kemungkinannya bisa ditemui di tempat lain. Di ARS, produk-produk Apple tidak dipajang layaknya barang-barang di swalayan. Bila di swalayan produk-produk dibungkus rapi dan dijaga ketat, tapi di ARS, produk-produk Apple dibiarkan terbuka dan bisa dicoba sendiri oleh calon pembelinya. Aktivitas umum seperti mengetik, menelepon menggunakan iPhone, mendengarkan musik dengan iPod, browsing dengan iMac, membuka e-mail, chatting dengan iChat, sampai mengedit dan mengolah (rendering) video, semua bisa dilakukan di ARS.

Kalau bingung, pengunjung bisa bertanya kepada para staf Apple. Jangan khawatir, mereka mengetahui seluk-beluk produk perusahaan yang menggaji sekaligus melatih mereka. Kata Apple melalui situsnya, “Semua staf ARS tahu banyak tentang Apple dan produknya. Hanya sedikit (rahasia) yang mungkin mereka tidak tahu.”

Selain dapat berkonsultasi di tempat (on-site consulting), Apple juga menyediakan beberapa layanan menarik. Misalnya workshop pengenalan Mac, cara membuat film pendek dengan iMovie, mengenal iPhone dan iPad, mengedit foto dengan iPhoto dan sejenisnya, dan semuanya gratis.

Workshop bukanlah satu-satunya layanan tanpa bayar yang bisa dinikmati di 325 toko ritel Apple di seluruh dunia. Para guru yang ingin memperkenalkan produk-produk Apple kepada para murid pun punya kesempatan mengunjungi Apple melalui dua program menarik—Apple Camp dan Field Trip to Apple Retail Stores.

Dalam acara Apple Camp, perusahaan yang baru memperkenalkan Siri melalui iPhone 4s ini mengumpulkan anak-anak usia 8-12 tahun selama 3 hari untuk belajar membuat film bareng dengan software iMovie, dan hasilnya dapat ditonton bersama di acara Apple Camp Film Festivals. Untuk acara Field Trip—di Indonesia lebih dikenal dengan istilah study tour—Apple mempersilakan para guru mengajak murid-muridnya beranjangsana ke ARS dan mencoba langsung produk-produk Apple yang bisa membantu mereka belajar, seperti Mac, iPad, iPod, iPhoto, iMovie, dan Keynote.

Apple Bukan Hanya untuk Anak-anak

Untuk para profesional dan pengusaha, Apple sudah menyiapkan Genius Bar. Ini tempat yang dirancang mirip bar dengan meja-meja cukup besar dan lebar untuk tempat Anda berkonsultasi dengan staf ARS. Di sini, setiap pengunjung boleh menanyakan apa pun terkait produk Apple secara one-on-one. Ini artinya, satu pengunjung dilayani satu konsultan yang melayaninya secara spesial. Dengan cara ini, Apple tampaknya memang tahu benar bagaimana memenangkan hati para konsumennya. Dan layanan ini pun diberikan gratis. Truly awesome. This is just insanely great.

Adat Istiadat Khas Ars: Guard of Honour

Membahas sukses toko ritel Apple rasanya tidak lengkap kalau tidak membicarakan aksi para staf. Salah satunya adalah Guard Of Honour yang dalam tradisi militer digunakan untuk menghormati atau menghargai seorang pahlawan atau orang yang berjasa bagi pasukan mereka. Di ARS, aksi Guard of Honoue dilakukan para karyawan untuk memberikan penghormatan kepada konsumen yang rela antre berjam-jam—bahkan berhari-hari—hanya untuk membeli produk Apple di hari pertama penjualan, atau dalam grand opening gerai ARS baru. Para staf berbaris membentuk sebuah lorong masuk, bertepuk tangan meriah dan menyalami pelanggan saat masuk dan meninggalkan toko dengan perasaan bahagia menjinjing produk Apple.

Subhanallah. Sekali lagi, this is just insanely great. Anda yang berbisnis ritel, atau tertarik masuk ke bisnis ini, mungkin perlu mencobanya, sesekali.

So, ada beberapa poin penting dalam tulisan ini. Ron Johnson (right man on the right place), desain toko yang menarik (eksterior dan interior), workshop gratis, konsultasi one-on-one gratis, field trip, Apple Camp, Genius Bar, Guard of Honour dan … bisnis ritel adalah memuaskan pelanggan. Karena hanya dengan cara inilah konsumen akan kembali lagi dan membeli lagi, dengan kemungkinan membawa teman: istri, keponakan, paman, ayah, ibu, kakek, nenek, bibi, atasan atau bawahan pada kunjungan berikutnya.

Just make your customer happy, OK!

*Penulis bisnis dan teknologi sekaligus pecinta produk Apple, meski belum mampu membeli satu pun—tapi mungkin ini masalah waktu saja.

Ingin berlangganan majalah Pengusaha Muslim:

Klik Tautan Ini

Atau

Hubungi:

e-mail: [email protected]

HP: 081567989028

Hadir Juga E-Magazine [Majalah Pengusaha Muslim Digital] Klik Tautan


Artikel asli: https://pengusahamuslim.com/2969-belajar-dari-apple-1588.html